Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi pendidikan dalam profesi keguruan.
Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan laporan ini.
Ø CANDI JAGO
Menurut kitab Negarakertagama dan Pararaton, nama candi ini yang sebenarnya adalah Jajaghu. Dalam pupuh 41 gatra ke-4 Negarakertagama dijelaskan bahwa Raja Wisnuwardhana yang memerintah Singasari menganut agama Syiwa Buddha, yaitu suatu aliran keagamaan yang merupakan perpaduan antara ajaran Hindu dan Buddha. Aliran tersebut berkembang selama masa pemerintahan Kerajaan Singasari, sebuah kerajaan yang letaknya sekitar 20 km dari Candi Jago. Jajaghu, yang artinya adalah 'keagungan', merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut tempat suci.
Masih menurut kitab Negarakertagama dan Pararaton, pembangunan Candi Jago berlangsung sejak tahun 1268 M sampai dengan tahun 1280 M, sebagai penghormatan bagi Raja Singasari ke-4, yaitu Sri Jaya Wisnuwardhana. Walaupun dibangun pada masa pemerintahan Kerajaan Singasari, disebut dalam kedua kitab tersebut bahwa Candi Jago selama tahun 1359 M merupakan salah satu tempat yang sering dikunjungi Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit. Keterkaitan Candi Jago dengan Kerajaan Singasari terlihat juga dari pahatan padma (teratai), yang menjulur ke atas dari bonggolnya, yang menghiasi tatakan arca-arcanya. Motif teratai semacam itu sangat populer pada masa Kerajaan Singasari. Yang perlu dicermati dalam sejarah candi adalah adanya kebiasaan raja-raja zaman dahulu untuk memugar candi-candi yang didirikan oleh raja-raja sebelumnya. Diduga Candi Jago juga telah mengalami pemugaran pada tahun 1343 M atas perintah Raja Adityawarman dari Melayu yang masih memiliki hubungan darah dengan Raja Hayam Wuruk.
Arsitektur Candi Jago disusun seperti teras punden berundak. Keseluruhannya memiliki panjang 23,71 m, lebar 14 m, dan tinggi 9,97 m. Bangunan Candi Jago nampak sudah tidak utuh lagi, yang tertinggal pada Candi Jago hanyalah bagian kaki dan sebagian kecil badan candi. Badan candi disangga oleh tiga buah teras. Bagian depan teras menjorok dan badan candi terletak di bagian teras ke tiga. Atap dan sebagian badan candi telah terbuka. Secara pasti bentuk atap belum diketahui, namun ada dugaan bahwa bentuk atap Candi Jago menyerupai Meru atau Pagoda.
Pada dinding luar kaki candi dipahatkan relief-relief cerita Kresnayana, Parthayana, Arjunawiwaha, Kunjarakharna, Anglingdharma, serta cerita fabel. Untuk mengikuti urutan cerita relief Candi Jago kita berjalan mengelilingi candi searah putaran jarum jam (pradaksiana).
Pada sudut kiri candi (barat laut) terlukis awal cerita binatang seperti halnya cerita Tantri. Cerita ini terdiri dari beberapa panel. Sedangkan pada dinding depan candi terdapat fabel, yaitu kura-kura. Ada dua kura-kura yang diterbangkan oleh seekor angsa dengan cara kura-kura tadi menggigit setangkai kayu. Di tengah perjalanan kura-kura ditertawakan oleh segerombolan serigala. Mereka mendengar dan kura-kura membalas dengan kata-kata (berucap), sehingga terbukalah mulutnya. Ia terjatuh karena terlepas dari gigitan kayunya. Kura-kura menjadi makanan serigala. Maknanya kurang lebih memberikan nasihat, janganlah mundur dalam usaha atau pekerjaan hanya karena hinaan orang.
Pada sudut timur laut terdapat rangkaian cerita Buddha yang meriwayatkan Yaksa Kunjarakarna. Ia pergi kepada dewa tertinggi, yaitu Sang Wairocana untuk mempelajari ajaran Buddha.
Salah satu patung yang awalnya terdapat pada Candi Jago, yang merupakan perlambangan Dewi Bhrkuti
Beberapa hiasan dan relief pada kaki candi berupa cerita Kunjarakarna. Cerita ini bersifat dedaktif dalam kepercayaan Buddha, antara lain dikisahkan tentang raksasa Kunjarakarna ingin menjelma menjadi manusia. Ia menghadap Wairocana dan menyampaikan maksudnya. Setelah diberi nasihat dan patuh pada ajaran Buddha, akhirnya keinginan raksasa terkabul.
Pada teras ketiga terdapat cerita Arjunawiwaha yang meriwayatkan perkawinan Arjuna dengan Dewi Suprabha sebagai hadiah dari Bhatara Guru setelah Arjuna mengalahkan raksasa Niwatakawaca.
Hiasan pada badan Candi Jago tidak sebanyak pada kakinya. Yang terlihat pada badan adalah relief adegan Kalayawana, yang ada hubungannya dengan cerita Kresnayana. Relief ini berkisah tentang peperangan antara raja Kalayawana dengan Kresna. Sedangkan pada bagian atap candi yang dikirakan dulu dibuat dari atap kayu/ijuk, sekarang sudah tidak ada bekasnya.
Candi Jago ditemukan Belanda tahun 1834. Saat itu kondisi candi berada dalam keadaan rusak karena akar-akar pohon beringin besar yang tumbuh di dekat candi. Keberadaan pohon di sekitar candi mungkin memang sengaja ditanam sebagai penanda sekaligus pelindung keberadaan candi dari marabahaya dan bencana. Tahun 1890, candi dipugar. Selanjutnya baru pada tahun 1908, candi memiliki bentuk seperti sekarang ini. Bagian atas candi masih belum mengalami bentuk sempurna karena bagian-bagian yang belum ditemukan, sehingga sulit untuk direkonstruksi.
Ø CANDI KIDAL TUMPANG
Candi Kidal, candi yang dibangun oleh dinasti Singosari yang letaknya berada di Desa Rejokidal Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang. Candi ini mempunyai corak beragama Hindu, tujuan membangun candi ini adalah untuk menghormati Raja Anusapati yang tak lain adalah putra dari Tunggul Ametung yang tewas dibunuh oleh Tohjaya karena ingin memiliki kekuasaan tahta kerajaan Singosari.Candi Kidal tersebut berdiri sangat kokoh yang ada disebuah taman indah serta dikelilingi oleh pohon-pohon yang rindang. Wisatawan akan melihat kebesaran dari Kerajaan Singosari serta dikombinasikan dengan lingkungan hijau yang sangat cantik disekitar candi.
Secara struktural, Candi Kidal terbuat
dari batu andesit dengan kaki candi yang lebih tinggi dan ukuran tubuh yang lebih kecil daripada luas kaki serta atap candi. Atap candi tersebut hanya terdapat 3 bagian, dimana 3 atap tersebut dulunya dijadikan sebuah tempat meletakan berlian kecil yang ada di tiap pojok.
Keistimewaan dari Candi Kidal ini adalah terletak pada relief Garuda yang berisi pesan moral pembebasan dari pembudakan. Candi ini juga memilki 3 Garuda, garuda yang pertama adalah Garuda yang menggendong 3 ular bear, garuda yang kedua adalah garuda dengan kendi diatas kepalanya, yang terakhir adalah garuda yang menyangga wanita diatasnya. Kemudian tepat diatas pintu masuk candi serta bilik-biliknya terdapat kepala kala yang merupakan aspek Dewa Siwa yang dikenal sebagai penjaga bangunan suci. Munurut para ahli sejarah, Candi Kidal tersebut merupakan candi tertua yang ada di periode peninggalan Jawa Timur.
Pada awal penemuannya, candi Kidal ditemukan oleh pihak Belanda pada tahun 1925. Hal ini terbukti dengan tersimpannya arca Siwa, yang seharusnya berada di candi Kidal, telah tersimpan di Royal Tripical Institute Amsterdam.
Candi yang memiliki relief dengan cerita Garudeya ini telah mendapat rekonstruksi pada tahun 1990, makna dari relief Garudeya ini adalah tentang pembebasan perbudakan. Material utama candi Kidal ini adalah batu andesit dengan dimensi geometris vertikal.
Selain berbentuk perahu, thuk-thukjugadihias dengan motif binatang naga. Naga bagi masyarakat Madura mempunyai arti sebagai lambang dari dunia bawah. Selain itu, pada masing-masing ujung badan thuk-thuk diperindah dengan ukiran kepala naga, mulutnya ferbuka lebar sehingga terlihat keempat taringnya yang tajam dan lidahnya yang menjulur keluar. Selain itu, masing-masing kepala naga juga diberi hiasan berupa mahkota dengan motif paruh burung phonix dan sulus daun yang distilir membentuk ekor burung phonix. Selain motif burung phonix, mahkota tersebut juga diperindah dengan motif bunga melati.
Adapun motif burung dan bunga melati bagi masyarakat Madura bukanlah merupakan sembarang motif yang diukir begitu saja oleh pengukirnya, akan tetapi motif tersebut memiliki makna tertentu sebagai filosofi masyarakat Madura. Motif burung khususnya burung phonix bagi masyarakat Madura merupakan motif sebagai lambang kehidupan, kebahagiaan dan lambang burung sorga serta sebagai lambang dari dunia atas. Begitu pula halnya dengan motif bunga melati yang dianggap sebagai
lambang dari sikap bangsa Madura yang cinta terhadap alam semesta dan juga mencerminkan rasa nasionalisme serta sebagai simbol dari keindahan dan romantik.
Bagian badan thuk-thuk diberi hiasan berupa ukiran badan dan ekor naga bersisik, sedangkan pada bagian kaki thuk-thuk, diukir membentuk huruf “M” dan diperindah dengan hiasan berupa kuntum bunga melati. Selain dari itu, bagian kaki juga dihias dengan uk-iran dua ekor Kuda Terbang. Motif Kuda Terbang ini merupakan “kebanggaan” bagi masyarakat Sumenep yang disebut juga sebagai Kuda Sembrani.
Fungsi Thuk – Thuk
Thuk-thuk seperti ini biasanya diletakkan pada setiap balai desa, yaitu sebagai kentongan yang berfungsi untuk memudahkan komunikasi antar penduduk dan perangkat-perangkat desa. Selain di balai desa, biasanya di setiap pedukuhan memiliki thuk-thuk atau kentongan yang bentuknya lebih kecil dari bentuk thuk-thuk yang ada di balai desa. Suatu saat apabila desa tersebut kedatangan tamu dan saat itu Kepala Desa tidak berada di tempat, maka thuk-thuk tersebut akan dipukul sehingga mengeluarkan suara yang keras dan nyaring. Bunyi thuk-thuk tadi nantinya akan terdengar ke seluruh lingkungan pedesaan.
Apabila saat itu Kepala Desa sedang berada pada salah satu dukuh, maka perangkat desa yang berada p’ada dukuh dimana Kepala Desa berada, akan membalas bunyi thuk-thuk dengan memukul thuk-thuk yang ada di dukuhnya. Dengan demikian segera dapat diketahui dimana Kepala Desa berada.
Alat pemukul thuk-thuk juga terbuat dari kayu, dimana bagian umumnya dibalut dengan kain. Untuk menggunakan alat pukul ini, harus dilakukan berdasarkan ketentuan tertentu. Misalnya untuk memanggil Kepala Desa, maka thuk-thuk hanya dipukul sekali saja dan untuk memanggil carik (Sekretaris Desa), maka thuk-thuk dipukul sebanyak dua kali. Dengan demikian wajarlah apabila penduduk dan perangkat-perangkat desa, mengetahui dan paham dengan makna dari jumlah b’unyi thuk-thuk yang dipukul.
Terdapat suatu sikap orang Madura terdapat seni ukir dimana di kalangan orang yang mampu (kaya) sangat bangga bila banyak memiliki barang-barang yang berukir. Hal ini desebabkan oleh adanya kesan bahwa niakin banyak barang-barang berukir yang dimiliki seseorang, maka makin kayalah orang tersebut dan akan naiklah statusnya, wibawadan martabatnya dalam masyarakat.
Cara Pembuatan Thuk-thuk
Adapun kayu yang biasa digunakan untuk membuat thuk-thuk adalah jenis kayu nangka. Jenis kayu nangka sebagai pilihan disebabkan oleh karena jenis kayu nangka dapat menghasilkah suara yang keras dan nyaring.
Cara membuat thuk-thuk sangat memerlukan ketelitian, kesabaran dan ketekunan, oleh karena itu mereka bekerja dengan sangat hati-hati agar dapat menghasilkan thuk-thuk yang sesuai dengan yang dikehendaki.
Cara membuat thuk-thuk, mula-mula kayu bulat besar dipotong sesuai dengan panjang badan thuk-thuk yang dikehendaki, yaitu sekitar 240 Cm. Kemudian kayu besar tersebut dibelah dua sehingga menjadi dua buah papan besar. Kedua papan tersebut lalu diukir secara simetris sesuai dengan ukuran yang dikehendaki. Dalam mengukir, khususnya ukiran Madura kemungkinan lebih banyak dikerjakan dengan palu dan pahat dari pada dengan penyol (pisau pengeruk dan meraut).
Setelah diukir, kedua papan tersebut dibentuk menyerupai bentuk perahu dan kemudian kedua papan di bagian tengahnya dibuat rongga, be gitu pula bagian atasnya dibuat rongga sehingga apabila kedua papan tersebut disatukan (ditemukan), maka bagian dalam dan atas thuk-thuk terdapat rongga sebagai sumber suara. Rongga bagian atas thuk-thuk berbentuk empat persegi panjang, dengan panjang rongga sekitar 50 Cm dan lebarnya sekitar 3 Cm.
Tahap selanjutnya adalah membuat ukiran kepala naga dengan sistem knock-down atau sistem bongkar pasang. Ukiran kepala naga ini akan dipasang atau diletakkan pada kedua ujung thuk-thuk. Begitu pula bagian kaki thuk-thuk juga dibuat ukiran dengan sistem knock-down atau bongkar pasang.
Setelah semua bagian thuk-thuk selesai dibuat dan diukir, maka tibalah saatnya-pada tahap pemberian warna. Dahulu dalam pemberian warna dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan pewarna alam. Misalnya untuk warna merah diperoleh dari bahan daun jati, warna kuning diperoleh dari buah kunyit dan warna hijau dipetoleh dari daun lamtoro (petai cina).
Saat ini pemberian warna pada thuk-thuk, tidak lagi menggunakan zat pewarna dari bahan tumbuh-tumbuhan, akan tetapi telah menggunakan cat.
Pada thuk-thuk terlihat adanya kombinasi pemberian warna berupa warna hijau, kuning keemasan, merah dan hitam. Bagi masyarakat Madura, pemberian warna merah diartikan sebagi lambang keberanian dan warna kuning keemasan diartikan sebagai lambang dari kebesaran, keagungan dan kesempurnaan. Sedangkan warna hitam diartikan sebagai lambang dari kelanggengan, kekekalan, ketenangan dan kemantapan dan warna hijau diartikan sebagi lambang dari kelembutan dan pengharapan
NAMA KELOMPOK:
1.
MOCH ANANG F
2. ANDRIAN R
3. DANANG ARYO
4. RISKI NOVIANTO
5. RANGGA BIMA
6.
GALIH LAKSANA P
|